ISFI online

Beranda » Ringkasan Talk » Kecenderungan Beragama Dalam Sejarah Manusia (2)

Kecenderungan Beragama Dalam Sejarah Manusia (2)

Keruntuhan teori para penulis Barat abad 18

Belum sampai abad 18 berakhir, Barat mulai membuka mata dan mencoba untuk mengoreksi pandangan mereka tentang pemikiran beragama. Pandangan yang populer di Eropa terbukti kesalahannya ketika orang Eropa banyak melakukan perjalanan dan berkenalan dengan budaya-budaya dan agama lain. Mereka berkesimpulan bahwa pemikiran keberagamaan adalah sesuatu yang common pada setiap komunitas manusia, di masa dahulu ataupun sekarang, meskipun terdapat perbedaan tingkatan kemajuan yang dialaminya.

Dengan ini terbukti bahwa pada setiap perbadaban manusia, pemikiran keberagamaan lebih awal munculnya atas pemikiran material murni. Agama juga bukan rekayasa orang-orang cerdik yang dibentuk karena kondisi darurat atau faktor-faktor tertentu, seperti faktor sosial. Justru, pemikiran beragama adalah sesuatu yang naluri dan ada pada semua kelompok manusia.

Perlu diketahui bahwa adanya agama pada setiap komunitas manusia, secara general, tidak menafikan ada sebagian yang tidak beragama atau tidak menyatakan bahwa semua individu beragama. Setiap kelompok manusia tidak terlepas dari adanya orang-orang ‘lalai’, yang tenggelam dalam kehidupan duniawi, bahkan pada tahapan tidak mendapat waktu luang untuk merenung tentang hakikat-hakikat wujud. Tidak dipungkiri juga keberadaan orang-orang yang memandang sinis agama, dengan mengatakan bahwa agama hanyalah khayalan atau khurafat-khurafat.

Orang-orang jenis ini sebenarnya minoritas dalam komunitas mereka.  Mereka biasanya orang-orang yang menjalani hidup secara berlebihan, sehingga tidak mampu merasakan nilai ketundukan atau kerendahan diri, yang bisa mendorong mereka untuk memikirkan perkara permulaan dan pengakhiran kehidupan mereka.

Pengecualian ini tidak menafikan keberadaan insting beragama yang tersimpan dalam jiwa manusia, secara umum, seperti mana insting untuk mempertahankan keturunan pada manusia secara umum tidak menafikan bahwa ada sebagian orang yang tidak menikah atau memiliki anak.

Setiap Kebudayaan Membawa Kepercayaan Tertentu

Kita tidak mengingkari bahwa ada kepercayaan atau cara-cara peribadatan baru muncul dalam suatu agama. Bid’ah-bid’ah ini lebih banyak menggelincirkan agama dari kemurniannya, seperti terjadi dalam agama Kristen dan Hindu. Pembaharuan yang dibuat-buat,  secara teorits, atau secara akal memang terjadi dan kenyataanya ada. Akan tetapi secara prinsip, tidak ada dalil satupun yang membuktikan bahwa pemikiran keberagamaan datangya lebih akhir daripada munculnya manusia. Artinya sejak kemunculan manusia, pemikiran agama sudah ada. Kemunculan pemikiran beragama beriringan dengan kemunculan manusia. Secara sejarah juga terbukti bahwa dimana saja kemunculan suatu kelompok manusia mesti ada sistem kepercayaan tertentu.

Menurut Dr. Anis jika pembahasan tentang sejarah kemunculan agama dikembangkan sebagaimana dinyatakan Dr. Darraz, maka itulah yang sejalan dengan Al-Quran. Adanya kepercayaan-kepercayaan pada manusia terdahulu membuktikan bahwa Allah mengutus beberapa utusan di setiap bangsa, masyarakat, atau kelompok manusia, dan ini berlaku sepanjang sejarah manusia. Inilah yang mampu menjelaskan pernyataan Al-Quran : وَإِنْ مِنْ أُمَّةٍ إِلَّا خَلَا فِيهَا نَذِيرٌ.

Bahwa kemudian kepercayaan mereka yang terekam oleh sejarah menjadi bermacam-macam dan tidak sesuai dengan ajaran Al-Quran, itu kembali kepada sejarah, bukan kepada risalahnya. Artinya, terjadinya penyimpangan adalah murni faktor sejarah. Karena sudah berlalu jutaan tahun dan tidak adanya panduan yang permanen, maka kepercayaan ini cenderung untuk ‘dibelokkan’.

Kesaksian Para Sarjana

Untuk menguatkan pendapatnya, Dr. Darraz menyebutkan beberapa kesaksian yang menguatkan bahwa agama bukanlah seperti dituduhkan oleh para ilmua abad 18.

Ensiklopedia Laresusse dalam artikel Religion, menulis : “Sesungguhnya insting beragama ada pada semua manusia, bahkan pada manusia yang yang paling primitif atau barbar sekalipun. Sesungguhnya perhatian terhadap masalah ketuhanan dan metafisik adalah salahsatu dari kecenderungan manusia yang universal”. Ditambahkan, “Insting (beragama) ini tidak akan pernah berhenti, bahkan tidak akan melemah ataupun memudar, kecuali pada masa-masa tertentu dimana manusia berada pada tahap berlebihan dalam materialisme dan pada sedikit orang saja”.

B. Saint Hilaire menulis : “Pertanyaan besar ini yang ‘menggelitik’ akal kita: apa hakikat sebenarnya alam dan manusia? dari mana keduanya datang? siapa yang menciptakan dan mengurusnya? apa tujuan eksistensinya? bagaimana keduanya bermula dan berakhir? apa hakikat hidup dan mati? aturan apa yang harus diikuti oleh akal kita dalam kehidupan ini? bagaimana masadepan yang menanti kita setelah kehidupan? apakah ada sesuatu setelah kehidupan? inilah pertanyaan-pertanyaan besar. Tidak ada satu kelompok manusia atau masyarakat, melainkan mencoba untuk menjawab dan memberikan solusi atas pertanyaan ini. Baik jawabannya memuaskan, buruk, bisa diterima, konstan atau berubah-ubah.. “.

Chachoin dalam Evolusi Agama menulis, “walaupun kemajuan yang menakjubkan yang kita capai pada zaman ini, pada bidang ilmu pengetahuan, industri, ekonomi, sosial, dan walaupun keterdorongan kita yang luar biasa dalam pergerakan kehidupan ini… sesungguhnya akal kita pada masa tenang akan kembali kepada perenungan tentang masalah-masalah azali; apa tujuan dan bagaimana   keberadaan kita dan keberadaan alam ini, apa hak-hak dan kewajiban kita?…”

Henri Bergson berkata, “telah ada, ada dan akan ada sekelompok manusia yang tidak mengenal ilmu pengetahuan, seni, atau filsafat, akan tetapi tidak pernah ada suatu komunitas tanpa agama..”

 

Ringkasan Kajian Kitab Ad-Din bersama Dr. Anis Malik Thoha, Selasa 9 Oktober 2012 [Reno]

 


Berikan Komentar

Terpopuler

Ilmu Menurut Imam Ghazali
Peran al-Qur’an dalam Pengislamisasian Bahasa Arab